NEWS DETAIL

  1. Galery Kegiatan
  2. PEMIMPIN PESANTREN ITU SANTRI #2

PEMIMPIN PESANTREN ITU SANTRI #2

by | Oct 10, 2025

Di tengah wacana demokratisasi dan kesetaraan sosial, pesantren kerap dituduh menyimpan sisa-sisa feodalisme dan kultus individu terhadap figur Kiai, bahkan ada yang tak segan menganggap pemimpin pesantren ber-SDM rendah. Sebagian pengamat amatir yang melihat dari luar cenderung menilai bahwa posisi Kiai dalam struktur pesantren adalah bentuk aristokrasi religius. Padahal, jika ditelusuri secara historis, sosok Kiai bukanlah bangsawan yang mewarisi kekuasaan, melainkan Santri yang menempuh jalan panjang ilmu, adab, dan khidmah. Ia bukan keturunan raja, melainkan hasil dari proses spiritual yang egalitarian. Karena itu, istilah “Kiai” adalah penegasan bahwa kepemimpinan dalam dunia pesantren bersumber dari kesantrian itu sendiri.

Spirit egalitarian dalam dunia pesantren dapat dilihat dari tiga dimensi utama: epistemologis, sosial, dan spiritual. Secara epistemologis, pesantren menempatkan ilmu sebagai sumber otoritas tertinggi. Kiai dihormati bukan karena garis darah, tetapi karena keluasan ilmu dan ketulusan dalam mengajarkannya. Martin van Bruinessen (1994) dalam “Pesantren and Kitab Kuning” menegaskan bahwa otoritas kiai lahir dari pengetahuan keislaman yang mendalam dan pengakuan moral komunitas santri, bukan karena legitimasi politik atau ekonomi. Dengan demikian, penghormatan kepada Kiai bersifat egaliter: siapa pun dapat menjadi Kiai jika menapaki jalan ilmu dan adab yang sama. Fakta demikian luput diperhatikan oleh para pembuat konten di sosial media.

Secara sosial, kehidupan di pesantren menumbuhkan kultur kesetaraan. Santri makan dari dapur yang sama, tidur di kamar bersama, dan menjalani rutinitas harian tanpa perbedaan kelas sosial. Dalam tradisi ini, kerja kolektif dan gotong royong menjadi bentuk nyata dari egalitarianisme Islam. Bahkan, kiai sering kali hidup sederhana, menyatu dalam keseharian santri. Clifford Geertz dalam “The Religion of Java” (1960) mencatat bahwa relasi antara kiai dan santri di Jawa tidak bisa disamakan dengan patronklien dalam masyarakat feodal, karena kiai sendiri menjalani hidup yang bersahaja dan berorientasi pengabdian.

Secara spiritual, kesetaraan dalam pesantren berakar pada pandangan Islam bahwa kemuliaan manusia tidak diukur dari keturunan, tetapi dari takwa dan ilmu. Prinsip ini ditegaskan dalam Al-Qur’an (QS. Al-Hujurat: 13) yang menolak hierarki sosial berbasis ras atau status. Dalam konteks inilah, pesantren menjadi laboratorium peradaban egaliter—tempat di mana siapa pun, dari latar belakang sosial apa pun, memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi ulama, cendekiawan, dan pemimpin umat.

Bahkan jika ditarik lebih panjang ke belakang, sejarah Islam di masa keemasan (Golden Era) memperkuat fakta ini. Dalam peradaban Islam abad ke-8 hingga ke-13, egalitarianisme ilmu menjadi fondasi utama kemajuan. Tokoh-tokoh besar seperti Imam Al-Ghazali, Ibnu Sina, dan Ibnu Khaldun tidak lahir dari keluarga bangsawan, tetapi dari keluarga biasa yang menempuh pendidikan melalui jalur keilmuan terbuka. Sistem madrasah pada masa itu—seperti Nizamiyah di Baghdad—menjadi bukti bahwa akses ilmu tidak dibatasi oleh status sosial. George Makdisi dalam “The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West” (1981) bahkan menyebut bahwa universitas modern di Eropa banyak meniru model madrasah Islam yang egaliter dalam struktur akademik dan penghargaan terhadap ilmu.

Di dunia Islam Timur, pemikiran egalitarian ini juga tampak dalam pandangan para sufi. Jalaluddin Rumi (1207–1273) menegaskan bahwa “jalan menuju Tuhan tidak mengenal kelas sosial,” sebab yang mengangkat derajat manusia adalah cinta dan pengabdian, bukan keturunan. Sedangkan Al-Farabi (w. 950 M) dalam “Al-Madina alFadhilah” menggambarkan masyarakat ideal sebagai tatanan yang dipimpin oleh orang berilmu dan berbudi, bukan oleh keturunan bangsawan. Pandangan ini sejalan dengan spirit kepemimpinan pesantren yang mengedepankan keilmuan dan keteladanan moral.

Konteks Nusantara menunjukkan hal serupa. Para kiai pendiri pesantren besar— seperti KH. Hasyim Asy’ari di Tebuireng, KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta, dan KH. Nawawi al-Bantani di Makkah—semuanya bermula sebagai santri biasa yang tekun menuntut ilmu. Mereka tidak lahir dari dinasti sosial, tetapi dari semangat kesantrian. Proses panjang rihlah ilmiah (pengembaraan mencari ilmu) membentuk karakter kepemimpinan yang rendah hati dan membumi. Mereka memimpin bukan karena diwariskan, tetapi karena dipercaya. Contoh lain dalam skala lokal ada Kiai Munawwir (Ramuk Segoro) – Dai Kondang Situbondo, sosok Santri yang tidak berlatar belakang anak Kiai dan bukan anak dari orang yang memiliki Pesantren. Beliau menjadi tokoh masyarakat di lingkungannya tanpa adanya dukungan properti sosial, pada lain hal banyak Santri dengan modal titian keilmuan dan akhlaqnya menjadi menantu para Kiai. Sehingga sangat gegabah apabila ada pembuat konten di sosial media menyatakan Feodalisme lahir dari Pesantren atau ada yang baru menyatakan Pemimpin Pesantren berSDM rendah. Sebenarnya apa maumu, Boeng ?.

Dalam kehidupan sehari-hari Pesantren, prinsip kesetaraan ini terus dijaga. Santri senior mendidik santri junior bukan sebagai atasan, melainkan sebagai teman belajar. Kiai menasihati Santri dengan kasih sayang, bukan dengan kekuasaan. Sistem pendidikan yang berbasis halaqah dan sorogan memperkuat hubungan langsung antara guru dan murid, tanpa jarak sosial. Hal ini kontras dengan sistem feodal yang menempatkan penguasa sebagai figur yang jauh dan tak tersentuh.

Peneliti modern seperti Azyumardi Azra (1999) dalam “Islamic Education and Social Transformation in Indonesia” menegaskan bahwa pesantren adalah institusi sosial yang fleksibel dan adaptif terhadap perubahan zaman, tanpa kehilangan ruh egalitariannya. Pesantren menjadi ruang demokrasi moral di mana setiap Santri memiliki hak yang sama untuk bertanya, berdiskusi, bahkan berijtihad sesuai kadar ilmunya. Inilah yang membuat pesantren tetap relevan di era modern: ia tidak sekadar lembaga pendidikan agama, tetapi juga benteng nilai kesetaraan.

Spirit relasi “Kiai-Santri” juga menjadi pelajaran penting bagi masyarakat luas bahwa kepemimpinan sejati lahir dari pengabdian, bukan pewarisan. Dalam diri seorang Kiai, ada kesantrian yang tak pernah padam. Ia terus belajar, berkhidmah, dan memuliakan muridnya sebagaimana dulu ia dimuliakan gurunya. Siklus ini meneguhkan bahwa Pesantren adalah miniatur peradaban Islam yang egaliter—tempat di mana ilmu dan adab menjadi satu-satunya alat pendakian sosial.

Dengan demikian, tuduhan para pembuat konten “Tuna Literasi” bahwa Pesantren mengandung aristokrasi dan feodalisme adalah reduksi yang tidak memahami ruhnya. Pesantren bukan kerajaan, melainkan universitas kehidupan yang dibangun atas asas ilmu dan pengabdian. Pemimpin pesantren sejati bukan bangsawan, tetapi “Kiai-Santri”— seorang yang memimpin karena pernah tunduk, menasihati karena pernah belajar, dan dimuliakan karena pernah mengabdi. Di sinilah letak keindahan egalitarianisme Islam yang terus hidup di bumi pesantren Indonesia.

(Red. Salman Alfarisi, SE.)

Daftar Pustaka :
– Bruinessen, Martin van. (1994). Pesantren and Kitab Kuning: Traditional Islamic Education in Indonesia.
– Geertz, Clifford. (1960). The Religion of Java. University of Chicago Press.
– Makdisi, George. (1981). The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West. Edinburgh University Press.
– Azra, Azyumardi. (1999). Islamic Education and Social Transformation in Indonesia. ISEAS.
– Al-Farabi. (950 M). Al-Madina al-Fadhilah.
– Rumi, Jalaluddin. (1273). Mathnawi.

Popular Posts

Majlis Sholat Hajat dan Sholawat Burdah

Majlis Sholat Hajat dan Sholawat Burdah

Madrasah Aliyah (MA) Atqia Bondowoso dikenal sebagai madrasah berbasis pesantren yang rutin mengadakan kegiatan Burdah setiap bulan. Tradisi pembacaan syair karya Imam al-Busiri ini menjadi sarana menumbuhkan cinta kepada Nabi Muhammad SAW, memperkuat spiritualitas santri, serta mempererat silaturrahmi antara santri, wali santri, dan alumni. Kegiatan ini juga diisi dengan pembacaan kitab oleh Dr. H. Madzkur Damiri dan diakhiri dengan sholat hajat bersama sebagai wujud kebersamaan dalam nilai-nilai religius.