Di tengah arus modernitas yang kerap menegaskan narasi batas-batas sosial antara kaya dan miskin, antara berpendidikan dan tidak, antara elite dan rakyat kecil yang dimobilisasi oleh media dan pembuat konten —penulis terdesak untuk memberikan paparan bahwa Pesantren justru menghadirkan wajah peradaban yang berbeda. Di sana, setiap individu kembali dipandang sebagai thalib al-‘ilm (pencari ilmu) yang setara di hadapan Allah. Asal-usul keluarga, kekayaan, dan jabatan menjadi kabur; yang tersisa hanyalah semangat belajar dan keikhlasan berkhidmah. Itulah spirit egalitarian yang tumbuh alami di dunia pesantren: kesetaraan yang dilatih lewat kehidupan bersama, bukan sekadar slogan atau teori sosial. Hal ini yang dirasakan penulis selama di Pesantren.
Secara teologis, akar egalitarianisme dalam Islam terpatri kuat pada firman Allah dalam QS. Al-Hujurat (49:13), bahwa kemuliaan manusia tidak diukur dari ras, bangsa, atau status, melainkan dari takwanya. Prinsip ini kemudian diterjemahkan dalam kultur pesantren melalui adab, disiplin, dan penghormatan terhadap ilmu. Seorang santri senior dihormati bukan karena usianya, tetapi karena ilmunya; seorang kiai dihormati bukan karena posisi feodal, melainkan karena keteladanannya dalam ilmu dan akhlak. Penelitian Van Bruinessen menunjukkan bahwa sistem halaqah dan sorogan di pesantren memungkinkan hubungan guru-murid yang bersifat dialogis dan setara secara spiritual, meskipun tetap terbingkai dalam adab hierarkis yang penuh hormat (van Bruinessen, 1994).
Dalam kehidupan sehari-hari, prinsip kesetaraan itu tampak dalam kebiasaan sederhana: makan bersama di dapur umum, tidur berdesakan di asrama, dan berbagi tugas kebersihan tanpa membedakan latar belakang keluarga. Clifford Geertz (1960) menyebut pesantren sebagai “miniatur masyarakat Islam Jawa” yang merepresentasikan nilai communal piety — kesalehan kolektif yang lahir dari kehidupan bersama, bukan dari status sosial. Pola ini memperkuat apa yang disebut Azyumardi Azra (2006) sebagai “egalitarian religiosity”: kesalehan yang menolak kasta sosial dan menegakkan nilai persaudaraan universal (ukhuwah insaniyyah).
Namun, egalitarianisme pesantren bukan tanpa tantangan. Dalam beberapa dekade terakhir, transformasi sosial dan ekonomi serta narasi media membawa pesantren pada dilema modernitas: antara mempertahankan tradisi kesetaraan atau beradaptasi dengan struktur birokratis baru. Hefner (2009) mencatat bahwa sebagian pesantren yang bertransformasi menjadi lembaga pendidikan formal cenderung mengalami re-stratifikasi sosial — di mana akses terhadap pendidikan dan fasilitas mulai dipengaruhi oleh kemampuan ekonomi. Meski demikian, semangat egalitarian tetap bertahan di banyak Pesantren tradisional yang menjaga prinsip sederhana: siapa pun boleh belajar, asal mau beradab.
Menariknya, banyak pesantren kini memadukan tradisi lama dengan teknologi digital tanpa kehilangan ruh egaliternya. Kelas daring, kegiatan literasi, hingga program wirausaha santri menjadi jalan baru bagi pesantren untuk memperluas makna kesetaraan di era global. Pesantren bukan lagi sekadar ruang tafaqquh fid-din, melainkan juga ruang pemberdayaan sosial dan ekonomi yang membuka peluang bagi siapa pun. Nilai egalitarian di sini berkembang menjadi semangat keadilan sosial — di mana kesetaraan spiritual melahirkan keberdayaan sosial.
Akhirnya, spirit egalitarian di dunia pesantren memberi pelajaran penting bagi masyarakat modern: bahwa kesetaraan sejati hanya bisa tumbuh dari adab, keikhlasan, dan penghargaan terhadap ilmu. Pesantren telah membuktikan, tanpa harus menyeragamkan manusia, kesetaraan dapat hidup dalam keragaman. Dalam dunia yang semakin kompetitif, materialistik, dan algoritmik. Pesantren mengajarkan bahwa derajat manusia tidak diukur oleh apa yang dimiliki, tetapi oleh seberapa dalam ia menghormati ilmu dan kemanusiaan.
(Red. Salman Alfarisi, SE.)
Daftar Pustaka
– Azra, A. (2006). Islam in the Indonesian World: An Account of Institutional Formation. Bandung: Mizan.
– Geertz, C. (1960). The Religion of Java. Chicago: The University of Chicago Press.
– Hefner, R. W. (2009). Making Modern Muslims: The Politics of Islamic Education in Southeast Asia. Honolulu: University of Hawai‘i Press.
– Van Bruinessen, M. (1994). Pesantren and Kitab Kuning: Continuity and Change in a Tradition of Religious Learning in Indonesia. In Text and Context: Studies on the Holy Book in Muslim Societies (pp. 121–145). Leiden: Brill.
– Zuhdi, M. (2019). “Revisiting Pesantren as a Cultural Agent of Change.” Studia Islamika, 26(2), 245–270.
– Sulaiman, A. (2021). “Egalitarian Spirit in Pesantren Education: Between Tradition and Modernity.” Journal of Islamic Education Studies, 5(1), 33–48.







